Pertandingan melawan timnas Argentina membangkitkan optimisme prestasi sepak bola Indonesia masa depan. Berbagai ekosistem yang mendukung kemajuan sudah berjalan dan mulai bergairah pada era kepemimpinan PSSI saat ini.
Oleh
MEISTRA BUDIASA
·4 menit baca
Kehadiran tim nasional Argentina, juara Piala Dunia 2022, merupakan momen bersejarah bagi persepakbolaan Indonesia.
Selama PSSI berdiri (1945), belum ada tim atau negara juara Piala Dunia bertandang melawan timnas Indonesia. Momen kali ini tidak hanya dinanti, tetapi juga menjadi pemantik bagi perubahan dan membangkitkan semangat timnas Indonesia menghadapi laga internasional ke depan, seperti Piala AFF, kualifikasi Piala Dunia, dan Piala Asia.
Kita perlu mengapresiasi langkah PSSI yang berharga ini demi perubahan sepak bola Indonesia. Harus kita sadari bahwa sepak bola menjadi harapan besar bagi prestasi olahraga.
Selama ini, bicara tentang sepak bola Indonesia, PSSI selalu mendapat sorotan, bahkan cibiran. Dari setiap periode kepemimpinan tidak pernah lepas dari persoalan, baik akibat ulah ketuanya, manajemen liga, maupun suporter.
Berbagai masalah itu menjadi diskursus yang membuat publik pesimistis terhadap kemajuan sepak bola dan prestasinya. Secara organisasi, kepemimpinan PSSI selalu mengalami berbagai dinamika politik, mulai dari suasana kongres yang selalu penuh intrik dan konflik hingga kasus korupsi yang menimpa ketuanya.
PSSI menjadi cibiran di masyarakat, khususnya pencinta sepak bola, dengan stigma-stigma ataupun pandangan yang membuat organisasi ini tak bisa membangun prestasi. Tragedi Kanjuruhan menjadi peristiwa puncak dari berbagai masalah yang menimpa PSSI sehingga membuat posisinya semakin terpuruk di mata publik.
Berbagai dinamika yang terjadi di tubuh PSSI tak serta-merta nihil akan capaian prestasi. Setidaknya beberapa gebrakan prestasi sudah dilakukan selama beberapa tahun belakangan, seperti menghadirkan pelatih asing yang berkualitas dunia, yakni Luis Milla dan Shin Tae-yong, naturalisasi pemain, dan melakukan pertandingan persahabatan internasional dengan negara-negara kuat.
Yang terbaru, meraih medali emas pada ajang SEA Games 2023 Kamboja setelah 32 tahun penantian. Gebrakan lain adalah menghadirkan tim juara dunia, Argentina, dalam FIFA Match Day, 19 Juni 2023. Ini menjadi ajang pertandingan yang ditunggu semua insan sepak bola Indonesia.
Laga ini menjadi debut gebrakan dari Erick Tohir selaku Ketua Umum PSSI yang memiliki pengalaman dalam manajerial sepak bola semenjak memimpin Inter Milan. FIFA Match Day melawan Argentina adalah gebrakan yang seharusnya mampu mendorong semangat pemain Indonesia lebih menjulang prestasinya ke depan di kancah internasional.
Gebrakan PSSI belakangan mulai tampak saat beberapa kejutan dimunculkan untuk memuaskan penggemar sepak bola Tanah Air, seperti pembentukan Komite Ad Hoc Suporter, kesejahteraan wasit dan pemain, dan sanksi untuk pengaturan skor saat pertandingan. Perhatian kepada nasib pemain, seperti bantuan pengobatan kepada kiper Kurnia Sandi, adalah bentuk kepedulian PSSI yang cukup memiliki andil.
Dua pertandingan FIFA Match Day bulan ini, yakni menghadapi Palestina dan Argentina, diharapkan mampu menjadi langkah lepas landas menuju prestasi sepak bola Indonesia.
Terakhir adalah kerja sama PSSI dengan Bundesliga Jerman dalam rangka meningkatkan iklim liga kompetisi bola yang semakin maju perlu juga mendapat apresiasi yang tinggi. Meski kegagalan Indonesia menjadi tuan rumah Piala Dunia U-20 menjadi catatan suram, langkah Ketua Umum PSSI mampu melobi pimpinan FIFA agar Indonesia tidak terkena sanksi lebih berat juga merupakan prestasi tersendiri.
Dua pertandingan FIFA Match Day bulan ini, yakni menghadapi Palestina dan Argentina, diharapkan mampu menjadi langkah lepas landas menuju prestasi sepak bola Indonesia.
Tontonan dan harapan
Kutipan terkenal Guy Debord (1967) mengenai masyarakat tontonan, yakni spectacle, bukanlah kumpulan imaji, melainkan relasi sosial antarmanusia yang dimediasi oleh gambar. Mengingat ini, jadi terbawa imaji kita melihat semangat masyarakat ketika menonton siaran langsung timnas Indonesia. Tidak mengenal lapisan sosial, profesi, agama, usia, dan sebagainya, semuanya menyatu memberikan dukungan lewat layar kaca.
Mendadak solidaritas nasional hadir. Perasaan terharu, sedih, gembira, dan sorak-sorai menggema di setiap sudut lokasi dari Sabang sampai Merauke. Laga timnas Indonesia menjadi tak ayal seperti perwujudan masyarakat yang penuh dengan beragam harapan dan sepak bola menjadi salah satu representasinya.
Kehadiran ikon sepak bola dunia menambah semangat dan antusiasme masyarakat terhadap timnas Indonesia agar kian terpacu meraih prestasi tertinggi pada ajang dunia.
Sebagai sebuah tontonan, sepak bola menjadi ikon atau andalan bagi media televisi untuk menarik pemirsa. Melalui gaya pembawa acara, komentator, serta sorotan kamera, suasana pertandingan menjadi lebih dramatis hingga memiliki efek luar biasa pada emosi publik.
Saat Piala Dunia 2022, survei Nielsen (2022) merilis bahwa lebih dari 40 persen populasi masyarakat Indonesia menonton pertandingan tersebut.
Ini membuktikan bahwa sepak bola menjadi komoditas yang paling menguntungkan bagi industri media massa dengan memiliki potensi ekonomi yang begitu besar. Sepak bola pada satu sisi menjadi tontonan karena efek dramatisnya mampu membius masyarakat untuk meningkatkan solidaritas. Di sisi lain, sepak bola menjadi harapan untuk peraihan prestasi, khususnya di dunia.
Menuju prestasi timnas
Kedatangan timnas Argentina harus menjadi langkah optimistis untuk membangkitkan prestasi sepak bola Indonesia.
Berbagai ekosistem yang mendukung kemajuan itu sudah berjalan dan pada era kepemimpinan PSSI saat ini mulai menampakkan gairahnya. Tinggal bagaimana implementasinya dalam mewujudkan reformasi sepak bola nasional yang maju dan berkembang karena ini ditunggu masyarakat.
Publik sudah terlalu lama melihat sepak bola nasional hanya sebagai tontonan. Kini, saatnya bisa merasakan atau menjadi bagian dari tontonan tersebut dengan raihan prestasi timnas Indonesia ke depan.
Meistra BudiasaDirektur Pusat Studi Komunikasi Olahraga Bung Karno, Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Bung Karno, Jakarta