Sumpah Pocong Saka Tatal dan Keraguan Penegakan Hukum Kasus Vina di Cirebon
Saka Tatal melakukan sumpah pocong sembari menunggu putusan peninjauan kembali. Dia yakin tidak terlibat pembunuhan.
Berbagai upaya ditempuh Saka Tatal (23) untuk membuktikan dirinya tidak terlibat membunuh Vina dan Muhammad Rizky di Cirebon, Jawa Barat, pada 2016. Eks terpidana kasus Vina ini mengajukan upaya hukum peninjauan kembali atau PK hingga berani sumpah pocong.
Ratusan warga memadati Padepokan Agung Amparan Djati di Desa Lurah, Kecamatan Plumbon, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, Jumat (9/8/2024) sekitar pukul 13.00 WIB. Jalan menuju lokasi, yang lebarnya hanya muat satu mobil, semakin sempit seiring hadirnya pedagang kaki lima dan warga.
Anak-anak hingga warga lanjut usia berdesak-desakkan memasuki padepokan itu. Bahkan, sejumlah pemuda harus memanjat pagar.
Saking gerahnya, baju yang tadinya kering sontak basah karena keringat. Bau tak sedap menguar, beradu dengan aroma kemenyan yang dibakar.
Beberapa orang menyerah dan keluar dari kerumunan. Warga lainnya tetap bertahan meski kadang saling dorong.
Hampir semua hadirin membuka kamera gawainya untuk siaran langsung di media sosial. Begitu pula dengan sejumlah awak media yang sudah live di televisi nasional.
”Mak, saya masuk TV (televisi),” teriak seorang remaja. Beberapa orang lainnya juga bersorak, ”Haus, haus, air.”
Ada juga yang bilang, ”Ini anak aparat desa, kasih jalan.” Desak-desakan warga itu demi menyaksikan sumpah pocong oleh Saka Tatal.
Sumpah pocong merupakan ritual yang biasa dilakukan masyarakat untuk menyelesaikan sengketa, perselisihan, hingga tuduhan atau fitnah. Pada pelaksanaannya, seseorang akan mengenakan kain kafan layaknya pocong. Dalam hal ini, Saka ingin membuktikan, ia tidak terlibat kasus Vina.
Saka ialah salah satu dari delapan terpidana pembunuhan Vina dan Rizky atau Eky di Cirebon pada 27 Agustus 2016. Pengadilan memutuskan ia dihukum 8 tahun penjara.
Namun, setelah menjalani hukuman 3 tahun 8 bulan, ia bebas bersyarat pada 2020 dan bebas murni, Juli 2024.
Pengadilan juga memvonis tujuh terpidana dengan penjara seumur hidup. Mereka adalah Jaya, Eko Ramadhani, Supriyanto, Eka Sandi, Hadi Saputra, Sudirman, dan Rivaldi Aditya.
Polisi juga menetapkan tiga nama dalam daftar pencarian orang (DPO). Ketiganya adalah Pegi alias Perong, Andi, dan Dani.
Setelah delapan tahun atau seiring viralnya film Vina: Sebelum 7 Hari pada 8 Mei 2024, polisi meringkus Pegi Setiawan yang diduga Perong. Polda Jabar menghapus status DPO Andi dan Dani karena dinilai sosok fiktif.
Pada 8 Juli 2024, hakim tunggal di Pengadilan Negeri Bandung, Eman Sulaeman, memutuskan Pegi Setiawan tidak terlibat dalam kasus itu. Pada saat yang sama, Saka mengajukan peninjauan kembali atau PK ke Mahkamah Agung. Sidang PK telah digelar dan masih menunggu putusan.
Kini, sembari menunggu putusan PK, Saka menempuh sumpah pocong. Saat tiba di padepokan, buruh bangunan ini disambut warga yang meneriakkan namanya.
Beberapa orang juga berlomba berswafoto dengannya. Keluarga dan kuasa hukumnya, seperti Farhat Abbas dan Titin Prialianti, mendampinginya.
Mulanya, Saka membuka bajunya dan mengguyur badannya dengan air layaknya mandi jenazah. Ia lalu merebahkan tubuh kurusnya di atas kain kafan yang ditaburi kembang, minyak wangi, hingga bedak. Kain itu lalu menutupi seluruh tubuhnya, kecuali bagian wajah, seperti pocong.
Salah satu pilihan pertanggungjawaban kultural kepada publik adalah sumpah pocong karena dengan sumpah pocong, dia merasa ada ritual-ritual yang dapat dikonsumsi publik.
Seorang pengurus padepokan yang mengenakan pakaian adat lalu mengumandangkan azan. Setelah itu, Raden Gilap Sugiono, pimpinan padepokan, membaca basmalah dan meminta Saka mengikuti ucapannya.
”Demi Allah, saya bersumpah bahwa saya tidak melakukan pembunuhan atau pemerkosaan (terhadap) Eky dan Vina. Demi Allah bahwa saya dan ketujuh terpidana adalah (korban) salah tangkap dan telah disiksa, disetrum, diberi air kencing, dan direkayasa kasus ini oleh Iptu Rudiana,” ujar Saka sesuai arahan Raden Gilap.
”Apabila saya berdusta dalam sumpah pocong ini, saya siap diajak oleh Allah dengan azab yang pedih, baik di dunia maupun di akhirat,” kata Saka.
Ia berani sumpah pocong karena yakin tidak bersalah. Saka menyatakan telah disiksa Rudiana dan rekannya agar mengaku sebagai pelaku.
Rudiana merupakan ayah Eky yang menjadi Kepala Unit Satuan Narkoba Kepolisian Resor Cirebon Kota pada 2016. Sebenarnya, pihaknya menantang Rudiana sumpah pocong dengan materi bahwa dia menganiaya terpidana dan merekayasa kasus. Namun, Rudiana tidak datang.
”Kenapa, kok, enggak hadir? Alasannya, apa lagi? Kalau Rudiana enggak hadir juga enggak apa-apa. Bagi Saka enggak jadi masalah. Ini kan Saka juga ingin membuktikan kebenaran seperti apa,” ungkap Saka yang mengaku merasa biasa saja saat sumpah pocong dan setelahnya.
Daripada pusing
Bahkan, Saka menyarankan tujuh terpidana lainnya untuk sumpah pocong. Baginya, sumpah pocong jadi jalan pembuktian kepada publik setelah ragu dengan proses hukum.
Ia, misalnya, dulu berjuang membuktikan dirinya tak bersalah. Namun, pengadilan tetap memutuskan sebaliknya.
”Untuk teman-teman saya (para terpidana), kalau ada pertanyaan-pertanyaan yang tidak masuk akal dan menyudutkan. Daripada pusing-pusing sudah sumpah pocong saja. Daripada ribet, harus menjelaskan seperti apa,” ungkap Saka yang saat ditangkap masih di bawah umur.
Saka pun tidak menyangka antusias warga mendukungnya sumpah pocong cukup besar. ”Sidang 2016 itu, boro-boro support, justru sebaliknya. Banyak yang menghina, menyudutkan bahwa Saka pelakunya. Alhamdulillah, setelah 2024 ini terbalik, banyak yang dukung,” ujarnya.
Titin mengungkapkan, sejak 2016, Saka telah berjuang mencari kebenaran, mulai dari melaporkan penyiksaan yang ia alami ke sejumlah lembaga terkait hingga melakukan kasasi.
Namun, hal itu belum membuahkan hasil. Bahkan, saat mengajukan PK, Saka kerap disalahkan.
”(Sumpah pocong) Ini bukan berarti mengintervensi keputusan Mahkamah Agung (soal PK) karena bagaimanapun di sidang itu tidak pernah terungkap apa yang sebenarnya terjadi di 2016,” ujar Titin. Ia pun berharap PK kliennya segera dikabulkan dan tujuh terpidana bisa ikut bebas.
Sejak awal, Titin meyakini, kematian Eky dan Vina bukanlah pembunuhan, melainkan kecelakaan. Ia pun telah mengajukan bukti, seperti foto kerusakan sepeda motor dan jasad korban yang mengarah kasus kecelakaan, pada sidang PK Saka. Sejumlah saksi juga menyebut adanya rekayasa kasus.
Massa dan ”netizen”
Raden Gilap menilai keputusan Saka untuk sumpah pocong merupakan kesungguhan mencari kebenaran. ”Sumpah pocong jangan main-main. Kalau bohong, tunggu saja efeknya, sesegera mungkin. Efek itu urusannya Allah. Kadang ada ledakan, kebakaran,” ungkapnya.
Namun, ritual kali ini berbeda karena hanya ada satu pihak, yakni Saka. ”Sebenarnya, sumpah ini, kan, harus ada dua obyek (orang). Supaya massa dan netizen tidak kecewa, makanya tetap kita laksanakan walaupun Iptu Rudiana tidak datang,” ungkap Raden.
Sebelumnya, Rudiana sempat menyebut ingin sumpah pocong untuk membuktikan bahwa anaknya telah berpulang. ”Saya sumpah pocong mau, sumpah apa pun mau. Artinya, yang meninggal adalah anak saya. Tujuh turunan saya mati semua kalau bohong,” katanya di hadapan Hotman Paris, pengacara keluarga Vina.
Baca juga: Setelah Saka Tatal, Rivaldi Siap Ajukan PK Kasus Vina Cirebon
Namun, Rudiana tidak datang ketika ditantang sumpah pocong oleh pihak Saka. Mardiman Sane, kuasa hukum Rudiana, enggan menanggapi tantangan sumpah pocong pihak Saka. Menurut dia, pengacara Saka hanya mencari sensasi melalui sumpah itu.
Ia pun memastikan kliennya tidak menangkap, menganiaya pelaku, dan merekayasa kasus itu. ”Pak Rudiana tidak pernah menangkap. Yang dilakukan adalah investigasi sebagai orangtua. Beliau berangkat dari kabar Vina dan Eky sudah tidak bernyawa,” ujar Mardiman.
Bagaimanapun, sumpah pocong Saka memang tidak terkait proses peradilan, termasuk putusan PK nantinya. Namun, menurut Heru SP Saputra dan kawan-kawan, dalam artikel ”Sumpah Pocong: Pranata Peradilan Tradisional sebagai Media Integrasi Sosial” di Jurnal Kultur (2009), sumpah pocong punya makna khusus.
Menurut akademisi Universitas Jember ini, meskipun kalah di pengadilan, seseorang merasa ingin membuktikan dirinya tidak bersalah. ”Salah satu pilihan pertanggungjawaban kultural kepada publik adalah sumpah pocong karena dengan sumpah pocong, dia merasa ada ritual-ritual yang dapat dikonsumsi publik,” tulisnya.
Begitupun dengan Saka, yang ingin menunjukkan dirinya tidak bersalah kepada publik meskipun proses hukum menyatakan sebaliknya. Melihat tingginya antusiasme warga saat sumpah pocong Saka, boleh jadi publik kian meragukan penegakan hukum kasus Vina pada 2016 itu.
Baca juga: Sidang PK Saka Tatal, Ahli Ungkap ”Dosa-dosa” Putusan Kasus Vina Cirebon